MAKALAH
FIQH
Tentang
MUNAKAHAH (PERNIKAHAN)
Oleh:
Elvi Susanti : 110.066
Nuraida : 110.070
JURUSAN
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (A)
FAKULTAS
ADAB
IAIN
IMAM BONJOLPADANG
1432
H / 2011 M
A.
Pendahuluan
Pernikahan merupakan salah satu cara
manusia untuk terhindar dari fitnah. Nikah merupakan sunnah rasulullah SAW.
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan adalah naluri segala
makhluk allah, termasuk manusia. Hal tersebut berdasarkan firman allah
QS.az-zariyat: 49. “dan segala sesuatu
kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran allah
SWT”. Dari firman allah di atas dapat kita tarik suatu argumen bahwa dengan
pernikahan kita akan mengingat kebesaran allah SWT, di samping nikah
adalah sunnahnya rasulullah SAW.
Dalam makalah ini akan membahas dan
menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1.
Pengertian
munakahah?
2.
Apa Hukum dan
syarat munakahah?
3.
Rukun nikah?
4.
Hikmah
pernikahan?
5.
Perwalian dalam
islam?
Adapun pembahasan lebih lengkap dan
menyeluruh tentang munakahah akan dipaparkan pada bab selanjutnya.
B. Munakahah
(Pernikahan)
1. Pengertian
Munakahah
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam
bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut
istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki -
laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut
terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan. (http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/pengertian-munakahat-pernikahan/).
Menurut pengertian sebagian Fukaha
perkawinan ialah: “akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan
kelamin dengan lafal nikah tauziwaj atau yang semakna keduanya.” (Departemen
Agama, 1983: 48)
Pernikahan ialah akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
bukan mahram.
Nikah (kawin) menurut arti asli
ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah akad
(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara
seorang pria dengan seorang wanita. (Ramulyo, 1996: 1).
Abu Yahya Zakaria al-Anshari mendefenisikan,
nikah menurut istilah syara’ adalah akad yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang
semakna dengannya. (Ghazaly, 2003:8).
Dari pengertian nikah diatas maka
pemakalah menyimpulkan bahwa, pernikahan adalah perjanjian (akad) yang mengikat
antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan warrahmah.
2. Hukum
Nikah
Menurut
Ramulyo (1996: 21), Asal hukum melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian
besar para fuqaha adalah mubah atau ibahah (halal atau kebolehan), hal ini
didasarkan kepada:
a. QS.
An-nisa’: 1
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur
$uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# t
b%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Artinya: Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu. (QS. An-nisa’: 1)
b. QS.
An-nisa’:24
* àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷r& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur
Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºs br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uöxî úüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù
Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù Æèduqã_é& ZpÒÌsù 4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJÏù
OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpÒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇËÍÈ
Artinya: dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-nisa’: 24)
Sabda rasulullah SAW
ﻮﺃﺘﺯﻭﺝ ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ ﻔﻤﻦ
ﺮﻏﺐ ﻋﻦ ﺴﻨﺘﻰ ﻔﻠﯿﺲ ﻤﻨﻰ (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺠﻤﺎﻋﺔ ﻮﺍﻠﻤﺴﻠﻢ)
Artinya: ... dan aku mengawini wanita-wanita,
barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukan termasuk ummatku.
(HR. Jama’ah dan muslim). (Ghazaly, 2003: 14)
Para
Ahli Fiqh mengelompokkan hukum nikah kepada lima macam, yaitu:
a. Wajib
wajib nikah bagi orang yang ada
keinginan dan mampu memberi nafkah, tetapi khawatir atas dirinya terperosok ke
jurang perzinaan. Hal ini dapat diatasi dengan pernikahan. Sebab bagi orang
tersebut nikah adalah wajib karena nikah merupakan sarana untuk menjaga diri
dari perbuatan maksiat.
b. Sunat
Sunat nikah bagi orang yang ada
keinginan dan mampu memberi nafkah tetapi tidak khawatir atas dirinya akan
terperosok ke jurang perzinaan.
Sabda Rasulullah SAW:
ﺀﻦ ﺍﺒﻰ ﺍﯿﻭﺏ ﺭﺿﻰ ﷲ
ﻋﻨﻪ ﻋﻦ ﺍﻠﻨﺒﻰ ﺺ ﻢ ﻘﺎﻞ ﺍﺮﺒﻊ ﻤﻦ ﺴﻨﻦ ﺍﻠﻤﺮﺴﻠﯿﻦ ﺍﻠﺤﯿﺎﺀ ﻭﺍﻠﺘﻌﻄﺭ ﻭﺍﻠﺴﻭﺍﻚ ﻭﺍﻠﻨﻜﺎﺡ (ﺮﻭﺍﮦ ﺍﺤﻤﺪ
ﻭﺍﻠﺘﺮﻤﺬﻯ)
Artinya: Dari Ayyub ra, dari nabi SAw. Beliau bersabda: empat macam yang
termasuk sunnah rasul-rasul yaitu: pemalu, suka berharu-haruman, bersugi
(menggosok gigi) dan nikah. (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
c. Makruh
Makruh nikah bagi orang yang ada
keinginan nikah tetapi belum mampu memberi nafkah tetapi tidak ada keinginan
atau sedang menuntut ilmu.
d. Haram
Haram nikah bagi orang yang tidak ada
keinginan nikah dan tidak ada kemampuan atau nikah dengan maksud jahat atau
menganiaya.
Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 195
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# wur (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$#
=Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik. (QS. Al-baqarah: 195)
e. Mubah
Mubah nikah bagi orang yang bila dia
nikah atau tidak, tidak menimbulkan masalah atau persoalan, dengan kata lain
tidak ada alasan dan tidak ada dorongan untuk wajib nikah.
3. Syarat
munakahah
Ulama Hanafiyyah membagi syarat
perkawinan kepada empat macam, yaitu:
a. Syuruth
al-In’iqad
Yaitu syarat yang menentukan
terlaksananya suatu akad perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan tergantung
pada akad, jika syarat ini tertinggal maka perkawinan tersebut batal.
b. Syuruth
al-Shihah
Yaitu sesuatu yang keberadaannya
menentukan dalam perkawinan. Syarat terse but harus dipenuhi untuk dapa
menimbulkan akibat hukum, dalam arti bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
perkawianan tersebut tidak sah, seperti adanya mahar dalam setiap perkawinan.
c. Syuruth
al-Nufuz
Yaitu syarat yang menentukan
kelangsungannya suatu perkawianan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya
perkawianan tergntung kepada adanya syarat-syarat itu tidak terpenuhi
menyebabkan fasad-nya perkawinan, seperti wali yang melangsungkan akad
perkawianan.
d. Syurut
al-Luzum
Yaitu syarat yang menentukan kepastian
suatu perkawinan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya
suatu perkawinan. Seperti suami harus sekufu dengan istri. (Syarifuddin, 2006:
60).
4.
Rukun Nikah ada
lima macam, yaitu :
a.
Calon Suami
Calon suami
harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :
1)
Islam
2)
Jelas orangnya
3)
Jelas identitasnya
4)
Kemauan sendiri
5)
Tidak mempunyai halangan nikah
b.
Calon Istri
Calon istri
harus memiliki syarat - syarat sebagai berikut :
1)
Islam
2)
Jelas orangnya
3)
Jelas identitasnya
4)
Kemauan sendiri
5)
Tidak mempunyai halangan nikah.
(Bustami, 1999: 6).
c.
Wali
Perkawinan
dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan dengan calon suaminya. Wali
hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil, artinya tidak
fasik. Kerena itu perkawinan tanpa wali tidak sah. (Departemen Agama, 1983:
100).
Berdasarkan
sabda Rasulullah SAW:
ﻻﻨﮑﺎﺡ ﺇﻻ
ﺒﻮﻠﻲ (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺨﻤﺴﺔ ﺇﻻ ﺍﻠﻨﺴﺎﺀﻯ)
Artinya:“Tidak ada perkawinan tanpa wali” (HR.
Al-Khamsah kecuali An-Nasaiy).
d.
Saksi
Saksi yang
menghadiri akad nikah haruslah dua orang, laki-laki, muslim, baligh, berakal,
melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah. Tetapi
menurut hanafi dan hambali, boleh juga saksi itu seorang laki-laki dan dua
orang perempuan.
Sabda
rasulullah SAW:
ﻻﻨﮑﺎﺡ ﺇﻻ
ﺒﻮﻠﻲ ﻭﺸﺎﻫﺪﻯ ﻋﺪ ﻝ (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﺤﻤﺪ)
Artinya: ”Tidak ada nikah kecuali dengan seorang wali
dan dua orang saksi”. (HR. Ahmad).
e.
Ijab dan Qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan
qabul yang dinyatakan dengan lisan , maka ijab adalah pernyataan menikahkan
oleh wali atau wakilnya dan qabul adalah pernyataan penerimaan nikah dari calon
suami. (Bustami, 1999: 16).
5. Hikmah
Munakahah
a.
Perkawinan
Dapat Menentramkan Jiwa
Dengan
perkawinan orang dapat memenuhi tuntutan nafsu seksualnya dengan rasa aman dan
tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin.
Firman QS.
Ar-Rum:21
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur
Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya: Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS.
Ar-rum: 21)
b.
Perkawinan
dapat Menghindarkan Perbuatan maksiat
Salah satu
kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis dalam
rangka kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat
penyaluran sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya
akan menimbulkan berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat
megakibatkan dosa dan beberapa penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan
perkawinan akan terbuaka jalan untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara
benar dan terhindar dari perbuatan - perbuatan maksiat.
c.
Perkawinan
untuk Melanjutkan Keturunan
Dalam surah
An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari yang satu, kemudian
dijadika baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak menjadi manusia
yang banyak, terdiri dari laki - laki dan perempuan. Memang manusia bisa
berkembang biak tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan tidak jelas
asal usulnya / jalur silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas bahwa
perkawinan dapat melestarikan keturunan dan menunjang nilai - nilai
kemanusiaan.
d.
Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan
pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari
istimta’ (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan
merusak masyarakat manusia.
e.
Menjaga kelestarian
umat manusia di muka bumi karena dengan menikah akan lahir generasi-generasi
penerus bagi pendahulunya.
f.
Memperbanyak umat
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keturunan yang lahir dalam
pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini
akan membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi
sabilillah yang akan membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu
dalam melakukan pekerjaan dan memakmurkan alam ini.
g.
Menjaga nasab,
mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan sebagian yang
lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan pernikahan,
niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya kehidupan di
dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada
hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak
ada furu’ (anak keturunan seseorang).
h.
Pernikahan akan
menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami istri. Karena
yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang bisa menyertainya
dalam suka duka dan bahagianya. (http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/pengertian-munakahat-pernikahan/).
Adapun
tujuan pernikahan menurut agama islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. (Departemen
Agama, 1983: 62)
Adapun
tujuan perkawian pernikahan adalah sebagai berikut:
a.
Mendapatkan dan melangsungkan
keturunan
b.
Memenuhi hajat manusia menyalurkan
syahwatnya dan menumpahkan Kasih sayangnya.
c.
Memenuhi
pangilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
d.
Menumbuhkan
kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga
bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
e.
Membangun rumah tangga
untuk membentuk masyarakat yang tentram yang atas dasar cinta dan kasih sayang.
(Departemen Agama, 1983: 64)
6. Perwalian
Adapun orang yang berhak menjadi wali
adalah sebagai berikut:
a.
Bapak
b.
Bapak dari bapak
(kakek) seterusnya ke atas
c.
Saudara
laki-laki kandung
d.
Saudara
laki-laki bapak
e.
Anak laki-laki
dari saudara laki-laki sekandung
f.
Anak laki-laki
dari saudara laki-laki bapak
g.
Saudara
laki-laki bapak sekandung
h.
Saudara
laki-laki bapak yang sebapak
i.
Anak laki-laki
dari saudara laki-laki bapak yang sekandung
j.
Anak laki-laki
dari saudara laki-laki bapak yang sebapak. (Rasjid, 1994: 383-384)
Adapun secara garis besar, wali dapat
dibagi kepada dua macam, yaitu:
a.
Wali Nasab
Wali nasab ialah seorang yang berhak
melakukan akad nikah dari seseorang perempuan calon istri disebabkan ada
pertalian darah atau keturunan antara wali dengan perempuan calon istri, yang
dapat kepada dua bagian:
1)
Wali Akrab (wali
dekat)
Wali akrab adalah wali yang paling dekat
hubungan darahnya (keturunannya) dengan perempuan calon isteri yaitu bapak dan
bapak dari bapak (kakek).
2)
Wali Ab’ad (wali
jauh)
Wali ab’ad adalah wali yang sudah jauh
pertalian darahnya dengan perempuan calon isteri. (Bustami, 1999: 9).
b.
Wali Hakim
Wali hakim adalah seseorang yang
diangkat menjadi wali berdasarkan kedudukannya atau profesinya.
Wali hakim berhak untuk menikahkan
sebagai berikut:
1)
Bila wali aqrab
enggan (‘adhal)
Wali aqrab tidak mau menikahkan anaknya
dengan laki-laki pilahannya yang sejodoh dimana bila akad nikah dilaksanakan
maka tidak ada hak dan kewajiban terabaikan.
2)
Bila wali aqrab
sedang ihram
Seorang wali yang sedang ihram hak wali
ada baginya dan syarat-syaratnya terpenuhi tapi dia terhalang untuk
melakukannya, maka pindahlah hak menikahkan itu kepada hakim.
3)
Bila wali aqrab
ghaib
Maksudnya dia jauh dari tempat tinggal,
baik karena jauh tempatnya sebatas boleh mengqasar shalat atau karena tidak
bisa ditemui, wakilnya tidak ada, maka hakimlah yang melaksanakan tugas
menikahkannya.
4)
Bila wali aqrab
itu sendiri yang menikahi perempuan (calon isteri) tersebut dan tidak ada wali
yang setingkat urutannya dengan dia.
5)
Bila perempuan
yang akan nikah tidak mempunyai wali, atau ada wali tetapi tidak memenuhi
syarat.
C.
Penutup
1. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang pernikahan di
atas dapt pemakalah simpulkan:
a.
Pengertian
munakahah
pernikahan adalah perjanjian (akad) yang
mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga yang
sakinah, mawaddah, dan warrahmah.
b.
Hukum dan syarat
munakahah
Hukum pernikahan dapat berupa wajib,
sunnah, makruh, mubah, maupun haram. Sedangkan syarat dari pernikahan adalah,
Syuruth al-in’iqad, Syuruth al-shihah, Syuruth al-nufuz, dan Syurut al-luzum.
c.
Rukun nikah
Adapun
rukun nikah harus ada calon suami, calon istri, wali, saksi, serta ijab qabul.
d.
Hikmah
pernikahan
1)
Mendapatkan dan melangsungkan
keturunan
2)
Memenuhi hajat manusia menyalurkan
syahwatnya dan menumpahkan Kasih sayangnya.
3)
Memenuhi
pangilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4)
Menumbuhkan
kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga
bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
5)
Membangun
rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram yang atas dasar cinta dan
kasih sayang.
e.
Perwalian dalam
islam
Adapun yang berhak menjadi wali adalah,
Bapak, Bapak dari bapak (kakek) seterusnya ke atas, Saudara laki-laki kandung,
Saudara laki-laki bapak, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, Anak
laki-laki dari saudara laki-laki bapak, Saudara laki-laki bapak sekandung,
Saudara laki-laki bapak yang sebapak, Anak laki-laki dari saudara laki-laki
bapak yang sekandung, dan Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang
sebapak.
2. Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari
pembaca senantiasa pemakalah harapkan, yang nantinya dapat dijadikan sebagai
titian usaha perbaikan lebih lanjut.
D.
Daftar Pustaka
Bustami, Isni. 1999. Perkawinan dan Perceraian dalam Islam. Padang:
IAIN IB Press.
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/
IAIN di Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Departemen Agama. 1983. Ilmu Fiqh Jilid
II.
Ramulyo,
Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap).
Bandung: Sinar Baru Algasindo.
Syarifuddin,
Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Ghazaly,
Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta:
Kencana.
terimakasih kak
BalasHapus