Kamis, 05 Juni 2014

Munakahah (Pernikahan)



MAKALAH
FIQH
Tentang
MUNAKAHAH (PERNIKAHAN)


Oleh:

Elvi Susanti           : 110.066
Nuraida                 : 110.070




JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM (A)
FAKULTAS ADAB
IAIN IMAM BONJOLPADANG
1432 H / 2011 M

A.    Pendahuluan
Pernikahan merupakan salah satu cara manusia untuk terhindar dari fitnah. Nikah merupakan sunnah rasulullah SAW. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan adalah naluri segala makhluk allah, termasuk manusia. Hal tersebut berdasarkan firman allah QS.az-zariyat: 49. “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran allah SWT”. Dari firman allah di atas dapat kita tarik suatu argumen bahwa dengan pernikahan kita akan mengingat kebesaran allah SWT, di samping nikah adalah  sunnahnya rasulullah SAW.
Dalam makalah ini akan membahas dan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1.         Pengertian munakahah?
2.         Apa Hukum dan syarat munakahah?
3.         Rukun nikah?
4.         Hikmah pernikahan?
5.         Perwalian dalam islam?
Adapun pembahasan lebih lengkap dan menyeluruh tentang munakahah akan dipaparkan pada bab selanjutnya.

B.     Munakahah (Pernikahan)

1.      Pengertian Munakahah
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan. (http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/pengertian-munakahat-pernikahan/).
Menurut pengertian sebagian Fukaha perkawinan ialah: “akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafal nikah tauziwaj atau yang semakna keduanya.” (Departemen Agama, 1983: 48)
Pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. (Ramulyo, 1996: 1).
Abu Yahya Zakaria al-Anshari mendefenisikan, nikah menurut istilah syara’ adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya. (Ghazaly, 2003:8).
Dari pengertian nikah diatas maka pemakalah menyimpulkan bahwa, pernikahan adalah perjanjian (akad) yang mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah.

2.      Hukum Nikah

Menurut Ramulyo (1996: 21), Asal hukum melakukan perkawinan menurut pendapat sebagian besar para fuqaha adalah mubah atau ibahah (halal atau kebolehan), hal ini didasarkan kepada:

a.    QS. An-nisa’: 1

$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur
$uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# t
b%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-nisa’: 1)

b.    QS. An-nisa’:24

* àM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# žwÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷ƒr& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur
Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uŽöxî šúüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù
Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù  Æèduqã_é& ZpŸÒƒÌsù 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJŠÏù
 OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpŸÒƒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇËÍÈ

Artinya: dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-nisa’: 24)

Sabda rasulullah SAW

ﻮﺃﺘﺯﻭﺝ ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ ﻔﻤﻦ ﺮﻏﺐ ﻋﻦ ﺴﻨﺘﻰ ﻔﻠﯿﺲ ﻤﻨﻰ (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺠﻤﺎﻋﺔ ﻮﺍﻠﻤﺴﻠﻢ)

Artinya: ... dan aku mengawini wanita-wanita, barang siapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukan termasuk ummatku. (HR. Jama’ah dan muslim). (Ghazaly, 2003: 14)

Para Ahli Fiqh mengelompokkan hukum nikah kepada lima macam, yaitu:

a.       Wajib
wajib nikah bagi orang yang ada keinginan dan mampu memberi nafkah, tetapi khawatir atas dirinya terperosok ke jurang perzinaan. Hal ini dapat diatasi dengan pernikahan. Sebab bagi orang tersebut nikah adalah wajib karena nikah merupakan sarana untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat.
b.      Sunat
Sunat nikah bagi orang yang ada keinginan dan mampu memberi nafkah tetapi tidak khawatir atas dirinya akan terperosok ke jurang perzinaan.
Sabda Rasulullah SAW:
ﺀﻦ ﺍﺒﻰ ﺍﯿﻭﺏ ﺭﺿﻰ ﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ ﺍﻠﻨﺒﻰ ﺺ ﻢ ﻘﺎﻞ ﺍﺮﺒﻊ ﻤﻦ ﺴﻨﻦ ﺍﻠﻤﺮﺴﻠﯿﻦ ﺍﻠﺤﯿﺎﺀ ﻭﺍﻠﺘﻌﻄﺭ ﻭﺍﻠﺴﻭﺍﻚ ﻭﺍﻠﻨﻜﺎﺡ (ﺮﻭﺍﮦ ﺍﺤﻤﺪ ﻭﺍﻠﺘﺮﻤﺬﻯ)
Artinya: Dari Ayyub ra, dari nabi SAw. Beliau bersabda: empat macam yang termasuk sunnah rasul-rasul yaitu: pemalu, suka berharu-haruman, bersugi (menggosok gigi) dan nikah. (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
c.       Makruh
Makruh nikah bagi orang yang ada keinginan nikah tetapi belum mampu memberi nafkah tetapi tidak ada keinginan atau sedang menuntut ilmu.
d.      Haram
Haram nikah bagi orang yang tidak ada keinginan nikah dan tidak ada kemampuan atau nikah dengan maksud jahat atau menganiaya.
Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 195
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$#
=Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-baqarah: 195)
e.       Mubah
Mubah nikah bagi orang yang bila dia nikah atau tidak, tidak menimbulkan masalah atau persoalan, dengan kata lain tidak ada alasan dan tidak ada dorongan untuk wajib nikah.

3.      Syarat munakahah
Ulama Hanafiyyah membagi syarat perkawinan kepada empat macam, yaitu:
a.       Syuruth al-In’iqad
Yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad perkawinan. Karena kelangsungan perkawinan tergantung pada akad, jika syarat ini tertinggal maka perkawinan tersebut batal.

b.      Syuruth al-Shihah
Yaitu sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam perkawinan. Syarat terse but harus dipenuhi untuk dapa menimbulkan akibat hukum, dalam arti bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perkawianan tersebut tidak sah, seperti adanya mahar dalam setiap perkawinan.
c.       Syuruth al-Nufuz
Yaitu syarat yang menentukan kelangsungannya suatu perkawianan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya perkawianan tergntung kepada adanya syarat-syarat itu tidak terpenuhi menyebabkan fasad-nya perkawinan, seperti wali yang melangsungkan akad perkawianan.
d.      Syurut al-Luzum
Yaitu syarat yang menentukan kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu perkawinan. Seperti suami harus sekufu dengan istri. (Syarifuddin, 2006: 60).

4.      Rukun Nikah ada lima macam, yaitu :

a.    Calon Suami
Calon suami harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :
1)        Islam
2)        Jelas orangnya
3)        Jelas identitasnya
4)        Kemauan sendiri
5)        Tidak mempunyai halangan nikah

b.    Calon Istri
Calon istri harus memiliki syarat - syarat sebagai berikut :
1)        Islam
2)        Jelas orangnya
3)        Jelas identitasnya
4)        Kemauan sendiri
5)        Tidak mempunyai halangan nikah. (Bustami, 1999: 6).


c.    Wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan dengan calon suaminya. Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil, artinya tidak fasik. Kerena itu perkawinan tanpa wali tidak sah. (Departemen Agama, 1983: 100).
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
ﻻﻨﮑﺎﺡ ﺇﻻ ﺒﻮﻠﻲ (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺨﻤﺴﺔ ﺇﻻ ﺍﻠﻨﺴﺎﺀﻯ)
Artinya:“Tidak ada perkawinan tanpa wali” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasaiy).

d.   Saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang, laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah. Tetapi menurut hanafi dan hambali, boleh juga saksi itu seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
Sabda rasulullah SAW:
ﻻﻨﮑﺎﺡ ﺇﻻ ﺒﻮﻠﻲ ﻭﺸﺎﻫﺪﻯ ﻋﺪ ﻝ (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﺤﻤﺪ)
Artinya: ”Tidak ada nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi”. (HR. Ahmad).

e.    Ijab dan Qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul yang dinyatakan dengan lisan , maka ijab adalah pernyataan menikahkan oleh wali atau wakilnya dan qabul adalah pernyataan penerimaan nikah dari calon suami. (Bustami, 1999: 16).
5.      Hikmah Munakahah

a.         Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa
Dengan perkawinan orang dapat memenuhi tuntutan nafsu seksualnya dengan rasa aman dan tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin.
Firman QS. Ar-Rum:21
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur
Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-rum: 21)
b.         Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan maksiat
Salah satu kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis dalam rangka kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat penyaluran sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya akan menimbulkan berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat megakibatkan dosa dan beberapa penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan perkawinan akan terbuaka jalan untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan terhindar dari perbuatan - perbuatan maksiat.
c.         Perkawinan untuk Melanjutkan Keturunan
Dalam surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari yang satu, kemudian dijadika baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak menjadi manusia yang banyak, terdiri dari laki - laki dan perempuan. Memang manusia bisa berkembang biak tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan tidak jelas asal usulnya / jalur silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas bahwa perkawinan dapat melestarikan keturunan dan menunjang nilai - nilai kemanusiaan.
d.        Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta’ (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan merusak masyarakat manusia.

e.         Menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi karena dengan menikah akan lahir generasi-generasi penerus bagi pendahulunya.

f.          Memperbanyak umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keturunan yang lahir dalam pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan pekerjaan dan memakmurkan alam ini.

g.         Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada furu’ (anak keturunan seseorang).

h.         Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya. (http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/pengertian-munakahat-pernikahan/).
Adapun tujuan pernikahan menurut agama islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. (Departemen Agama, 1983: 62)
Adapun tujuan perkawian pernikahan adalah sebagai berikut:
a.       Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b.      Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan Kasih sayangnya.
c.       Memenuhi pangilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
d.      Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
e.       Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram yang atas dasar cinta dan kasih sayang. (Departemen Agama, 1983: 64)
                                                           
6.      Perwalian
Adapun orang yang berhak menjadi wali adalah sebagai berikut:
a.         Bapak
b.         Bapak dari bapak (kakek) seterusnya ke atas
c.         Saudara laki-laki kandung
d.        Saudara laki-laki bapak
e.         Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
f.          Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak
g.         Saudara laki-laki bapak sekandung
h.         Saudara laki-laki bapak yang sebapak
i.           Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung
j.           Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak. (Rasjid, 1994: 383-384)

Adapun secara garis besar, wali dapat dibagi kepada dua macam, yaitu:
a.         Wali Nasab
Wali nasab ialah seorang yang berhak melakukan akad nikah dari seseorang perempuan calon istri disebabkan ada pertalian darah atau keturunan antara wali dengan perempuan calon istri, yang dapat kepada dua bagian:
1)        Wali Akrab (wali dekat)
Wali akrab adalah wali yang paling dekat hubungan darahnya (keturunannya) dengan perempuan calon isteri yaitu bapak dan bapak dari bapak (kakek).
2)        Wali Ab’ad (wali jauh)
Wali ab’ad adalah wali yang sudah jauh pertalian darahnya dengan perempuan calon isteri. (Bustami, 1999: 9).

b.         Wali Hakim
Wali hakim adalah seseorang yang diangkat menjadi wali berdasarkan kedudukannya atau profesinya.
Wali hakim berhak untuk menikahkan sebagai berikut:
1)        Bila wali aqrab enggan (‘adhal)
Wali aqrab tidak mau menikahkan anaknya dengan laki-laki pilahannya yang sejodoh dimana bila akad nikah dilaksanakan maka tidak ada hak dan kewajiban terabaikan.  
2)        Bila wali aqrab sedang ihram
Seorang wali yang sedang ihram hak wali ada baginya dan syarat-syaratnya terpenuhi tapi dia terhalang untuk melakukannya, maka pindahlah hak menikahkan itu kepada hakim.
3)        Bila wali aqrab ghaib
Maksudnya dia jauh dari tempat tinggal, baik karena jauh tempatnya sebatas boleh mengqasar shalat atau karena tidak bisa ditemui, wakilnya tidak ada, maka hakimlah yang melaksanakan tugas menikahkannya.

4)        Bila wali aqrab itu sendiri yang menikahi perempuan (calon isteri) tersebut dan tidak ada wali yang setingkat urutannya dengan dia.

5)        Bila perempuan yang akan nikah tidak mempunyai wali, atau ada wali tetapi tidak memenuhi syarat.

C.     Penutup
1.      Kesimpulan
Dari pembahasan tentang pernikahan di atas dapt pemakalah simpulkan:
a.         Pengertian munakahah
pernikahan adalah perjanjian (akad) yang mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah.    


b.        Hukum dan syarat munakahah
Hukum pernikahan dapat berupa wajib, sunnah, makruh, mubah, maupun haram. Sedangkan syarat dari pernikahan adalah, Syuruth al-in’iqad, Syuruth al-shihah, Syuruth al-nufuz, dan Syurut al-luzum.
c.         Rukun nikah
Adapun rukun nikah harus ada calon suami, calon istri, wali, saksi, serta ijab qabul.

d.        Hikmah pernikahan
1)        Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
2)        Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan Kasih sayangnya.
3)        Memenuhi pangilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4)        Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
5)        Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram yang atas dasar cinta dan kasih sayang.

e.         Perwalian dalam islam
Adapun yang berhak menjadi wali adalah, Bapak, Bapak dari bapak (kakek) seterusnya ke atas, Saudara laki-laki kandung, Saudara laki-laki bapak, Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak, Saudara laki-laki bapak sekandung, Saudara laki-laki bapak yang sebapak, Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung, dan Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sebapak.





2.      Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca senantiasa pemakalah harapkan, yang nantinya dapat dijadikan sebagai titian usaha perbaikan lebih lanjut.
                                                   
D.    Daftar Pustaka

Bustami, Isni. 1999. Perkawinan dan Perceraian dalam Islam. Padang: IAIN IB Press.
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama. 1983. Ilmu Fiqh Jilid II.
Ramulyo, Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Bandung: Sinar Baru Algasindo.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Ghazaly, Rahman. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.

1 komentar: